Komitmen Organisasi

Tanda tangan seluruh pegawai di Boston Scientific sebagai bentuk dari komitmen organisasi

1. Definisi Komitmen Organisasi

Terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk mendefinisikan komitmen organisasi yaitu attitudinal commitment dan behavioral commitment (Mowday, Porter, & Steers, 1982; Reichers, 1985; Salancik, 1977; Scholl, 1981; Staw, 1977, dalam Meyer & Allen, 1997). 

Pendekatan sikap (attitudinal commitment) berfokus pada proses berpikir individu tentang hubungan mereka dengan organisasi. Individu akan mempertimbangkan kesesuaian nilai dan tujuan mereka dengan organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan ditunjukkan dengan keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai serta tujuan dari organisasi tersebut. Sedangkan pendekatan perilaku (behavioral commitment) berhubungan dengan proses dimana individu itu telah terikat dengan organisasi tertentu. Komitmen individu tersebut ditunjukkan dengan adanya tindakan. Contohnya individu dengan komitmen yang tinggi akan tetap berada di organisasi dan akan mempunyai pandangan yang positif tentang organisasinya. Selain itu individu akan menunjukkan perilaku yang konsisten untuk tetap mempunyai persepsi diri yang positif (Mowday, dalam Meyer & Allen, 1997).

Meyer dan Allen (1997) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi.

Karyawan yang memiliki komitmen berarti karyawan yang setia dan produktif yang mengidentifikasikan dirinya pada tujuan dan nilai perusahaan (Buchanan, dalam Meyer & Allen, 1997), maka banyak bentuk perilaku yang dihubungkan dengan pekerjaan seperti komitmen untuk tetap bekerja, pelaksanaan tugas, kehadiran, komitmen kerja, kualitas kerja dan pengorbanan pribadi demi kepentingan organisasi (Robinowitz, Hall & Randall, dalam Meyer & Allen, 1997). Komitmen yang berhubungan dengan pekerjaan adalah serangkaian variabel dengan lima hal yaitu: pekerjaan, organisasi, kelompok kerja, karir dan nilai kerja (Blau, Morrow & Mcelroy, dalam Meyer & Allen, 1997). Bentuk komitmen yang paling banyak diterima adalah keterikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi penerimaan nilai-nilai organisasi dan keinginan untuk tetap tinggal bersama organisasi (Porter, dalam Meyer & Allen, 1997). 

Komitmen adalah kesepakatan atau janji untuk melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan disertai dengan loyalitas berdasarkan kesamaan nilai atau visi pribadi dan visi organisasi.

(1) Komitmen berhubungan dengan visi pribadi, memiliki kekuatan yang berasal dari keyakinan, nilai-nilai, kepercayaan diri, konsistensi, sikap optimis dan totalitas berkomitmen. Sikap yang lahir dari keyakinan yang kuat, optimis dan totalitas akan membentuk pribadi dengan sikap komitmen tinggi. Sikap ini memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi, yang berarti individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi.

(2) Komitmen berhubungan dengan visi organisasi, karyawan yang memiliki tingkat sekedar bergabung dengan perusahaan secara fisik melainkan juga bersedia melakukan pekerjaan di luar tugasnya (Kushariyanti, 2007). Organisasi nonprofit seperti lembaga pendidikan, upaya untuk meningkatkan keterlibatan kerja dan komitmen dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan pendekatan manusiawi, menganggap karyawan bukan sebagai faktor produksi semata tapi juga memberikan penghargaan kepada mereka sebagai individu yang memiliki rasa tanggung jawab, keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan aktivitas kerjanya didasarkan pada pendapat Schwartz (dalam Wahyono, 2010)

Selanjutnya Luthans (2006) mengatakan sebagai sikap, komitmen organisasi paling sering didefinisikan sebagai berikut:
1. Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu.
2. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi.
3. Keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi

Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

Pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi mempunyai penekanan pada proses individu atau karyawan dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan dan tujuan organisasi. Disamping itu komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai suatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan organisasi secara aktif karena karyawan yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja (Kushariyanti, 2007)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah suatu keadaan dimana individu menjadi sangat terikat oleh tindakannya. Melalui tindakan ini akan menimbulkan keyakinan yang menunjang aktivitas dan keterlibatannya. Sehingga seseorang pekerja dengan komitmen yang tinggi pada umumnya mempunyai kebutuhan yang besar untuk mengembangkan diri dan senang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di organisasi tempat mereka bekerja. Hasilnya mereka jarang terlambat, tingkat absensi yang rendah, produktivitas yang tinggi, serta berusaha menampilkan kinerja yang terbaik dan pekerja dengan komitmen yang tinggi juga dapat menurunkan turn over

2. Komponen Komitmen Organisasi
Menurut Meyer dan Allen (1997) terdapat tiga komponen dalam komitmen organisasi, yaitu: 

a. Komitmen Affective
Komitmen afektif mengarah pada the employee's emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut (Meyer dan Allen, 1997)

 Hasil beberapa penelitian (Adler dan Araya, 1984; Angle dan Perry, 1983; Brief dan Alday, 1980, dalam Chairy, 2002), komitmen afektif terhadap organisasi terbukti berkolerasi dengan umur dan masa kerja. Menurut penelitian Charrington menemukan hubungan antara usia dan komitmen disebabkan karena semakin tua karyawan, semakin berkomitmen pada organisasi serta karyawan yang lebih tua memiliki atau merasa memiliki pengalaman positif dengan organisasi. Analisis tentang usia tidak menunjukkan efek yang sama, namun temuan (Gould, dalam Meyer & Allen, 1997) menunjukkan bahwa hubungan antara kompleksitas kerja dengan kepuasan kerja lebih kuat dirasakan oleh karyawan yang muda dibandingkan yang tua. Hal ini dimungkinkan adanya hubungan antara komitmen organisasional dengan usia karyawan yang berbeda

Menurut Meyer dan Allen (1997) penyebab keterkaitan komitmen afektif pada organisasi meliputi karakteristik individu, karakteristik organisasi, pengalaman kerja namun menurut Meyer dan Allen (1997), menunjukkan bahwa bukti yang terkuat dijumpai pada penyebab berupa pengalaman kerja. Hal ini menunjukkan semakin banyak pengalaman kerja baik berupa pengalaman khas perusahaan maupun pengalaman dalam menghadapi tantangan pekerjaan

b. Komitmen Continuance
Komitmen kontinuans berkaitan dengan an awareness of the costs associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans sejalan dengan pendapat (Becker’s, dalam Meyer dan Allen, 1997) yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain (Meyer & Allen, 1997)

Menurut Meyer dan Allen (1997), komitmen kontinuans terhadap organisasi menunjukkan keterikatan psikologis terhadap suatu organisasi yang berhubungan dengan persepsi nilai yang telah ditanamkan dalam suatu organisasi dan efeknya pada kesempatan keluar dari organisasi. Komitmen kontinu merupakan persepsi seseorang atas biaya dan resiko dengan meninggalkan organisasi. Artinya, terdapat dua aspek pada komitmen kontinu, yaitu: melibatkan pengorbanan pribadi (investasi) apabila meninggalkan organisasi dan ketiadaan alternatif yang tersedia bagi orang tersebut.

Meyer dan Allen (1997), komitmen afektif dan komitmen kontinuans mencerminkan hubungan antara karyawan dan organisasi yang menurunkan turnover, namun sifat hubungannya berbeda. Karyawan yang mempunyai komitmen afektif kuat akan tetap pada organisasi karena mereka menginginkannya, sedangkan mereka yang memiliki komitmen kontinuans akan tetap tinggal di organisasi karena mereka harus melakukannya. Mowday, dkk (dalam Meyer & Allen, 1997), mengungkapkan mereka yang menginginkan untuk tetap bertahan di organisasi akan bersedia melakukan peran ekstra demi organisasi namun mereka yang terpaksa bertahan di organisasi untuk menghindari tingginya biaya dan tidak banyak melakukan peran ekstra

c. Komitmen Normative
Komitmen normatif merefleksikan a feeling of obligation to continue employment. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi

Meyer dan Allen (1997) memilih untuk menggunakan istilah komponen komitmen organisasi daripada tipe atau dimensi komitmen organisasi karena hubungan karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam ketiga komponen tersebut. Selain itu setiap komponen komitmen berkembang sebagai hasil dari pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi yang berbeda pula. Misalnya, seorang karyawan secara bersamaan dapat merasa terikat dengan organisasi dan juga merasa wajib untuk bertahan dalam organisasi. Sementara itu, karyawan lain dapat menikmati bekerja dalam organisasi sekaligus menyadari bahwa ia lebih baik bertahan dalam organisasi karena situasi ekonomi yang tidak menentu. Namun, karyawan lain merasa ingin (want to), butuh (need to), dan juga wajib (ought to) untuk terus bekerja dalam organisasi

Dengan demikian, pengukuran komitmen organisasi juga seharusnya merefleksikan ketiga komponen komitmen tersebut, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif

3. Faktor-faktor Penyebab yang Mempengaruhi Komitmen Kontinuans
Menurut Becker’s, (1960, dalam Meyer & Allen (1997) menyatakan bahwa ada dua variabel yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi yang juga merupakan bagian dari komitmen kontinu yaitu

a. Variabel Investasi, yaitu melibatkan investasi dari sesuatu yang berharga seperti waktu, tenaga, uang yang merupakan bagian dari internal individu, bahwa seorang karyawan akan kehilangan itu jika ia meninggalkan organisasi. Karyawan dapat melakukan investasi dalam organisasi pada banyak hal, misalnya dengan menimbulkan biaya relokasi keluarganya dari kota lain atau dengan menghabiskan waktu memperoleh keterampilan khusus dari organisasi tersebut. Meninggalkan organisasi bisa berarti bahwa karyawan akan kehilangan atau telah menyia-nyiakan waktu, uang, usaha yang diinvestasikan.

b. Variabel Alternatif, yaitu melibatkan persepsi karyawan terhadap alternatif pekerjaan. Karyawan berpikir bahwa mereka memiliki alternatif yang sedikit. Misalnya, seorang karyawan mungkin mendasarkan persepsinya terhadap lingkungan eksternal (tingkat lapangan kerja dan iklim ekonomi) karyawan lain mungkin mendasarkan alternatif sejauh mana keahliannya tampak berharga, masih dapat dipakai dan cocok di organisasi yang lain. Persepsi alternatif juga dapat dipengaruhi oleh hal seperti hasil dari upaya pencarian kerja sebelumnya, apakah organisasi lain telah mencoba untuk merekrutnya, dan sejauh mana faktor keluarga mendukung individu untuk pindah.

Komentar